Jepang yang mempunyai kebudayaan yang unik membuat Negara bunga sakura itu banyak di kenal masyarakat dunia salah satunya Indonesia, kebudayaan jepang yang sampai saat ini masih dilakukan dalam berbagai kesempatan misalkan perayaan hanami, di karenakan masyarakat jepang mencintai kebudayaannya sendiri dan mau menjaganya. Orang jepang mau memakai pakean seberat dan setebal kimono untuk sekedar menghadiri upacara resepsi pernikahan, sekarang kita tau bagaimana cintanya warga jepang pada kebudayaannya sendiri. Adakalanya kita perlu mengetahui seperti apa kebudayaan jepang itu, mungkin dengan mengetahui beberapa kebudayaan jepang kita bisa sedikit meniru cara melestarikan kebudayaannya, mungkin bisa saja kebudayaan kita tetap terjaga dan tetap di lakukan seperti kebudayaan jepang, berikut beberapa contoh kebudayaan jepang:
Rombongan demi rombongan berpiknik menggelar tikar dan duduk-duduk di bawah pepohonan sakura untuk bergembira bersama, minum sake, makan makanan khas Jepang, dan lain-lain layaknya pesta kebun. Semuanya bergembira. Ada kelompok keluarga, ada kelompok perusahaan, organisasi, sekolah dan lain-lain.
Menurut kisah sejarah, kebiasaan hanami dipengaruhi oleh raja-raja Cina yang gemar menanam pohon plum di sekitar istana mereka. Di Jepang para bangsawanpun kemudian mulai menikmati bunga Ume (plum). Namun pada abad ke-8 atau awalperiode Heian, obyek bunga yang dinikmati bergeser ke bunga sakura. Dikisahkan pula bahwa Raja Saga di era Jepang dahulu gemar menyelenggarakan pesta hanami di taman Shinsenendi Kyoto. Para bangsawanpun menikmati hanami di berbagai istana mereka, dan para petani masa itu melakukannya dengan mendaki gunung terdekat di awal musim semi untuk menikmati bunga sakura yang tumbuh disana sambil `tidak lupa membawa bekal untuk makan siang. Hingga kini hanami menjadi kebiasaan yang mengakar di seluruh masyarakat Jepang dan telah di terima sebagai salah satu kekhasan bangsanya. Khusus di daerah Kansai dan Jepang Barat, tempat-tempat unggulan untuk ber-hanami adalah Arashiyama di Kyoto, Yoshino di Nara, taman disekitar OsakaCastle dan Taman Shukugawa di Nishinomiya, Prefektur Hyogo.
Waktu bunga sakura bermekaran di pohonnya berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lainnya, dimulai dari daerah paling selatan. Tapi rata-rata mekar dari akhir Maret hingga awal April (kecuali di Okinawa dan Hokkaido). Dengan demikian pesta memandang dan menikmati sakura juga berlainan waktunya dari satu daerah ke daerah lainnya. Prakiraan pergerakan mekarnya bunga sakura disebut garis depan bunga sakura (sakurazensen). Prakiraan ini dikeluarkan oleh direktorat meteorologi dan berbagai badan yang berurusan dengan cuaca. Saat melakukan hanami di suatu tempat adalah ketika semua pohon sakura yang ada di tempat tersebut bunganya sudah mekar semua.
Namun akhir-akhir ini tradisi hanami membawa dampak negatif. Banyak orang Jepang yang mabuk dan angka kecelakaan pun meningkat. Taman pun menjadi gunung sampah. Di saat hanami kelihatannya kesadaran tertib buang sampah menjadi luntur. Sayang sekali. Tapi di sisi lain, hanami seperti sebuah `rehat` singkat dari striknya hidup orang-orang Jepang. Hanami juga merupakan pembelajaran berharga bagi anak tentang alam dan tradisi.
Pada tahun 1583, Toyotomi Hideyoshi seorang penguasa dimasanya berhasil menyatukan Jepang dari masa kelam ini dan kemudian memilih Osaka sebagai tempat tinggalnya. Ia membangun Osaka menjadi pusat politik serta ekonomi Jepang. Puri Osaka atau Osaka Castle merupakan salah satu saksi bisu kemegahan masa itu dan menjadi bangunan terindah yang didirikan oleh Toyotomi Hideyoshi. Puri ini dikelilingi taman yang penuh pohon Cherry, Plum dan Sakura serta berbunga indah saat musim semi. Bunga yang menjadi kebanggaan masyarakat setempat serta mengundang kekaguman para pengunjung saat ber-hanami.
Di abad ke-17 walalupun pusat kekuatan politik telah bergeser ke Tokyo, Osaka terus berlanjut memainkan peran yang penting dalam mengatur perekonomian dan distribusi barang di Jepang. Di masa ini pula kebudayaan kota berkembang pesat antara lain melalui lahirnya sekolah-sekolah yang dikelola pihak swasta dengan sistim pendidikan yang berbeda dari yang dilaksanakan oleh pemerintah dimasa itu. Melalui cara ini, cara berpikir terbuka dan semangat berwirausaha telah dipupuk dan menjadikan Osaka dikemudian hari menjadi suatu kota metropolis yang modern serta menjadi kota terbesar ketiga di Jepang.
Pada masa lalu, Osaka memang pernah menjadi pusat perdagangan Jepang. Kini, seiring dengan kemajuan jaman, sejak akhir tahun 1990an banyak perusahaan-perusahaan terkemuka memindahkan kantor pusat mereka ke Tokyo. Namun beberapa tetap mempertahankan tradisi berkantor pusat di Osaka.
Pada zaman Azuchi-Momoyama (1573 – 1600) dan awal zaman Edo (1603), istilah saburai berubah menjadi samurai yang kemudian berubah pengertian menjadi “orang yang mengabdi”.
Setelah tahun 794, ketika ibu kota dipindahkan dari Nara ke Heian (Kyoto), kaum bangsawan menikmati masa kemakmurannya selama 150 tahun dibawah pemerintahan kaisar. Tetapi, pemerintahan daerah yang dibentuk oleh pemerintah pusat justru menekan para penduduk yang mayoritas adalah petani. Pajak yang sangat berat menimbulkan pemberontakan di daerah-daerah, dan mengharuskan petani kecil untuk bergabung dengan tuan tanah yang memiliki pengaruh agar mendapatkan pemasukan yang lebih besar. Dikarenakan keadaan negara yang tidak aman, penjarahan terhadap tuan tanah pun terjadi baik di daerah dan di ibu kota yang memaksa para pemilik shoen (tanah milik pribadi) mempersenjatai keluarga dan para petaninya. Kondisi ini yang kemudian melahirkan kelas militer yang dikenal dengan samurai.
Kelompok toryo (panglima perang) dibawah pimpinan keluarga Taira dan Minamoto muncul sebagai pemenang di Jepang bagian Barat dan Timur, tetapi mereka saling memperebutkan kekuasaan. Pemerintah pusat, dalam hal ini keluarga Fujiwara, tidak mampu mengatasi polarisasi ini, yang mengakibatkan berakhirnya kekuasaan kaum bangsawan. Kaisar Gonjo yang dikenal anti-Fujiwara, mengadakan perebutan kekuasaan dan memusatkan kekuasaan politiknya dari dalam o-tera yang dikenal dengan insei seiji. Kaisar Shirakawa,menggantikan kaisar Gonjo akhirnya menjadikan o-tera sebagai markas politiknya. Secara lihai, ia memanfaatkan o-tera sebagai fungsi keagamaan dan fungsi politik.
Tentara pengawal o-tera, souhei (僧 兵 ) pun ia bentuk, termasuk memberi sumbangan tanah (shoen) pada o-tera. Lengkaplah sudah o-tera memenuhi syarat sebagai “negara” di dalam negara. Akibatnya, kelompok kaisar yang anti pemerintahan o-tera mengadakan perlawanan dengan memanfaatkan kelompok Taira dan Minamoto yang sedang bertikai.
Keterlibatan Taira dan Minamoto dalam pertikaian ini berlatar belakang pada kericuhan yang terjadi di istana menyangkut perebutan tahta, antara Fujiwara dan kaisar yang pro maupun kotra terhadap o-tera. Perang antara Minamoto, yang memihak o-tera melawan Taira, yang memihak istana, muncul dalam dua pertempuran besar yakni Perang Hogen (1156) dan Perang Heiji (1159). Peperangan akhirnya dimenangkan oleh Taira yang menandai perubahan besar dalam struktur kekuasaan politik. Untuk pertama kalinya, kaum samurai muncul sebagai kekuatan politik di istana. Taira pun mengangkat dirinya sebagai kuge (公 家 – bangsawan kerajaan), sekaligus memperkokoh posisi samurai-nya. Sebagian besar keluarganya diberi jabatan penting dan dinobatkan sebagai bangsawan.
Keangkuhan keluarga Taira akhirnya melahirkan konspirasi politik tingkat tinggi antara keluarga Minamoto (yang mendapat dukungan dari kaum bangsawan) dengan kaisar Shirakawa, yang pada akhirnya mengantarkan keluarga Minamoto mendirikan pemerintahan militer pertama di Kamakura (Kamakura Bakufu; 1192 – 1333). Ketika Minamoto Yoritomo wafat pada tahun 1199, kekuasaan diambil alih oleh keluarga Hojo yang merupakan pengikut Taira. Pada masa kepemimpinan keluarga Hojo (1199 -1336), ajaran Zen masuk dan berkembang di kalangan samurai. Para samurai mengekspresikan Zen sebagai falsafah dan tuntunan hidup mereka.
Pada tahun 1274, bangsa Mongol datang menyerang Jepang. Para samurai yang tidak terbiasa berperang secara berkelompok dengan susah payah dapat mengantisipasi serangan bangsa Mongol tersebut. Untuk mengantisipasi serangan bangsa Mongol yang kedua (tahun 1281), para samurai mendirikan tembok pertahanan di teluk Hakata (pantai pendaratan bangsa mongol) dan mengadopsi taktik serangan malam. Secara menyeluruh, taktik berperang para samurai tidak mampu memberikan kehancuran yang berarti bagi tentara Mongol, yang menggunakan taktik pengepungan besar-besaran, gerak cepat, dan penggunaan senjata baru (dengan menggunakan mesiu). Pada akhirnya, angin topanlah yang menghancurkan armada Mongol, dan mencegah bangsa Mongol untuk menduduki Jepang. Orang Jepang menyebut angin ini kamikaze (dewa angin).
Dua hal yang diperoleh dari penyerbuan bangsa Mongol adalah pentingnya mobilisasi pasukan infantri secara besar-besaran, dan kelemahan dari kavaleri busur panah dalam menghadapi penyerang. Sebagai akibatnya, lambat laun samurai menggantikan busur-panah dengan “pedang” sebagai senjata utama samurai. Pada awal abad ke-14, pedang dan tombak menjadi senjata utama di kalangan panglima perang. Pada zaman Muromachi (1392 – 1573), diwarnai dengan terpecahnya istana Kyoto menjadi dua, yakni Istana Utara di Kyoto dan Istana Selatan di Nara. Selama 60 tahun terjadi perselisihan sengit antara Istana Utara melawan Istana Selatan (nambokuchō tairitsu).
Oda Nobunaga, seorang keturunan daimyo dari wilayah Owari dan seorang ahli strategi militer, mulai menghancurkan musuh-musuhnya dengan cara menguasai wilayah Kinai, yaitu Osaka sebagai pusat perniagaan, Kobe sebagai pintu gerbang perdagangan dengan negara luar, Nara yang merupakan “lumbung padi”, dan Kyoto yang merupakan pusat pemerintahan Bakufu Muromachi dan istana kaisar. Strategi terpenting yang dijalankannya adalah Oda Nobunaga dengan melibatkan agama untuk mencapai ambisinya. Pedagang portugis yang membawa agama Kristen, diberi keleluasaan untuk menyebarkan agama itu di seluruh Jepang. Tujuan strategis Oda dalam hal ini adalah agar ia secara leluasa dapat memperoleh senjata api yang diperjualbelikan dalam kapal-kapal dagang Portugis, sekaligus memonopoli perdagangan dengan pihak asing. Dengan memiliki senjata api (yang paling canggih pada masa itu), Oda akan dapat menundukkan musuh-musuhnya lebih cepat dan mempertahankan wilayah yang telah dikuasainya serta membentuk pemerintahan pusat yang kokoh. Oda Nobubunaga membangun benteng Azuchi Momoyama pada tahun 1573 setelah berhasil menjatuhkan Bakufu Muromachi. Strategi Oda dengan melindungi agama Kristen mendatangkan sakit hati bagi pemeluk agama Budha. Pada akhirnya, ia dibunuh oleh pengikutnya sendiri, Akechi Mitsuhide, seorang penganut agama Budha yang fanatik, pada tahun 1582 di Honnoji, sebelum ia berhasil menyatukan seluruh Jepang.
Toyotomi Hideyoshi, yang merupakan pengikut setia Oda, melanjutkan penyatuan Jepang, dan tugasnya ini dituntaskan pada tahun 1590 dengan menaklukkan keluarga Hojo di Odawara dan keluarga Shimaru di Kyushu tiga tahun sebelumnya. Terdapat dua peraturan penting yang dikeluarkan Toyotomi : taiko kenchi (peraturan kepemilikan tanah) dan katana garirei (peraturan perlucutan pedang) bagi para petani. Kedua peraturan ini secara strategis bermaksud “mengontrol” kekayaan para tuan tanah dan mengontrol para petani agar tidak melakukan perlawanan atau pemberontakan bersenjata. Keberhasilan Toyotomi menaklukkan seluruh tuan tanah mendatangkan masalah tersendiri. Semangat menang perang dengan energi pasukan yang tidak tersalurkan mendatangkan ancaman internal yang menjurus kepada disintegrasi bagi keluarga militer yang tidak puas atas kemenangan Toyotomi. Dalam hal inilah Toyotomi menyalurkan kekuatan dahsyat tersebut untuk menyerang Korea pada tahun 1592 dan 1597. Sayang serangan ini gagal dan Toyotomi wafat pada tahun 1598, menandakan awal kehancuran bakufu Muromachi.
Kematian dianggap sebagai jalan yang mulia bagi seorang samurai daripada tindakan pahlawan-pahlawan lain. Cara kematian dianggap suatu hal yang sangat penting bagi seorang samurai. Ajaran yang menerangkan mengenai “mati yang terbaik” telah ditulis di dalam sebuah buku, Hagakure pada kurun ke-18. Ditulis lama selepas tentera samurai berangkat ke medan peperangan, Hagakure – buku tersebut dikatakan telah membawa semangat dan panji samurai ke arah kemelaratan dan kesesatan. Tidak dapat dinafikan, wujudnya satu idealisme yang baik di dalam buku tersebut tetapi telah telah disalahtafsirkan oleh para samurai kerana kekaburan maksud kalimatnya. Malah, contoh utama yang boleh dipaparkan di sini terletak di Bab Pendahuluan buku Hagakure itu sendiri: “Jalan Samurai ditemui dalam kematian. Apabila tiba kepada kematian, yang ada di sini hanya pilihan yang pantas untuk kematian.”
Baris-baris kalimat di atas kemudian menjadi ayat-ayat yang paling popular dalam kebanyakan buku dan majalah mengenai samurai atau budaya bela diri masyarakat Jepang. Petikan di bawah merupakan antara isi kandungan buku Hagakure: “Kita semua mau hidup. Dalam kebanyakan perkara kita melakukan sesuatu berdasarkan apa yang kita suka. Tetapi sekiranya tidak mencapai tujuan kita dan terus untuk hidup adalah sesuatu tindakan yang pengecut. Tiada keperluan untuk malu dalam soal ini. Ini adalah Jalan Samurai (Bushido). Jika sudah ditetapkan jantung seseorang untuk setiap pagi dan malam, seseorang itu akan dapat hidup walaupun jasadnya sudah mati, dia telah mendapat kebebasan dalam Jalan tersebut. Keseluruhan hidupnya tidak akan dipersalahkan dan dia akan mencapai apa yang dihajatinya.”
Buku Hagakure telah mempengaruhi kehidupan para samurai. Kematian Nobufusa dan Taira Tomomori juga dipengaruhi oleh buku ini. Taira Tomomori boleh dianggap sebagai Jeneral Taira yang paling agung, telah membunuh diri kerana nasihatnya telah diabaikan pada saat-saat akhir ketika Perang Gempei. Pada pengakhiran konfrontasi ketika Perang Gempei, Tomomori telah mendesak rajanya, Munemori, supaya menyingkirkan seorang jeneral yang diragui kesetiaannya. Munemori telah menolak usulnya, dan ketika berlangsungnya Pertempuran Dan no Ura (1185), jeneral tersebut telah mengkhianati perjuangan Taira. Lantaran kecewa karena nasehat pentingnya diabaikan, Tomomori membuat keputusan untuk menamatkan riwayatnya sendiri. Seterusnya kita akan bincangkan mengenai Dua Kematian Cara Samurai iaitu Mati Di Medan Pertempuran dan Seppuku.
Sebagaimana pejuang-pejuang Islam yang menganggap mati syahid dalam peperangan untuk membela Islam sebagai satu kemuliaan, begitu juga dengan para samurai. Mati dibunuh di medan perang adalah lebih baik daripada hidup tetapi ditangkap oleh musuh. Salah seorang samurai yang terkenal, Uesugi Kenshin sempat meninggalkan pesanan kepada para pengikutnya sebelum mati:
“Seseorang yang tidak mau mati karena tertusuk panah musuh tidak akan mendapat perlindungan daripada Tuhan. Bagi kamu yang tidak mau mati karena dipanah oleh tentara biasa, karena mau mati di tangan pahlawan yang handal atau terkenal, akan mendapat perlindungan Tuhan.”
Tidak ada samurai yang pernah terhindar daripada bayangan maut semasa di medan perang. Kebanyakan nama besar dalam dunia samurai tumbang di medan perang. Ayah Uesugi Kenshin terbunuh di dalam pertempuran, sebagaimana Imagawa Yoshimoto, Ryuzoji Takanobu, Saito Dosan, Uesugi Tomosada… sementara yang lain telah mengambil keputusan untuk membunuh diri selepas perjuangan mereka telah dipatahkan, dari zaman Minamoto Yorimasa (kurun ke-12) sampai pada zaman Sue Harukata (kurun ke-16). Kebiasaanya, seseorang samurai akan membuat puisi kematian ketika menjelang maut.
Tindakan di mana seseorang menyobek perutnya, sebagai suatu cara membunuh diri. Merupakan unsur yang paling popular dalam mitos samurai. Bagi seorang samurai, membunuh diri adalah lebih baik daripada membiarkan ditangkap, karena sekiranya samurai itu masih hidup dan ditangkap, ia dianggap membawa malu kepada nama keluarga dan raja. Di Barat, cara membunuh diri ini dipanggil Hara-kiri (artinya tindakan Membunuh Diri dengan membelah perut – tetapi istilah ini tidak digunakan oleh para samurai), tidak diketahui kapan istilah itu digunakan. Walau bagaimana pun, seperti yang tercatat dalam sejarah, Seppuku ini mula dilakukan oleh Minamoto Tametomo dan Minamoto Yorisama pada akhir kurun ke-12. Dari sinilah asalnya seorang samurai memilih cara ini karena lebih mudah melakukan dibandingkan membunuh diri dengan cara memenggal kepala sendiri. Ada juga yang mengatakan bahawa dengan melakukan seppuku, iaitu dengan membelah perut adalah merupakan cara yang paling jujur untuk mati. Ini karena, dia sebelum mati akan merasai kesakitan yang amat sangat dan ini mungkin tidak berani dihadapi oleh kebanyakan orang. Oleh karena itu, mati dengan cara seppuku dianggap sebagai suatu keberanian dan kehormatan.
Pada zaman Edo, seppuku telah menjadi sebagai salah satu upacara terhormat dalam kebudayaan Jepang. Mula-mula, karpet tatami putih akan dikeluarkan, kemudian satu bantal yang besar akan diletakkan di atasnya . Para saksi pembunuhan akan berdiri di sebelah samurai tersebut (pelaku seppuku), bergantung kepada pentingnya kematian (sebagai satu nilai penghormatan kepada pelaku seppuku). Samurai yang menjalani seppuku, memakai baju kimono putih, akan duduk berlutut (seiza) di atas bantal tersebut. Di sebelah kiri, pada jarak kira-kira satu meter dari samurai tersebut, seorang kaishakunin, atau `kedua’ akan turut berlutut. Kaishakunin atau `Kedua’ adalah sahabat akrab kepada samurai yang telah meninggal kerana melakukan seppuku. Karena perbuatan ini dianggap tidak senonoh dan amat memalukan (tabu), maka hanya orang-orang yang layak dan terpilih (berkesanggupan untuk melakukan tugas membantu) saja yang akan menjadi kaishakunin.
Di depan samurai (pelaku seppuku) ini akan ada sebilah pisau bersarung yang terletak di dalam talam. Apabila samurai tersebut merasakan dia telah siap, samurai tersebut akan menanggalkan kimononya dan membebaskan bagian perutnya. Kemudian dia akan mengangkat pisau dengan sebelah tangan, manakala sebelah tangan lagi menanggalkan sarung pisau tersebut dan meletakkannya ke tepi. Apabila dia telah bersedia, dia akan mengarahkan mata pisau tersebut pada sebelah kiri perut, dan menggoreskannya ke kanan. Selepas itu, pisau tersebut akan diputar dalam keadaan masih terbenam di dalam perut dan ditarik ke atas. Kebanyakan samurai tidak sanggup lagi untuk melakukan tindakan ini, maka ketika inilah kaishakunin (artinya kedua) akan memenggal kepala samurai tersebut setelah melihat sejauh mana kesakitan yang terpapar pada wajahnya.
Tindakan yang dilakukan sampai selesai dikenali sebagai jumonji (crosswise), sayatan bintang, dan seandainya samurai (pelaku seppuku) dapat melakukannya, maka seppuku yang dilakukannya dianggap amat bernilai dan disanjung tinggi. Seppuku juga mempunyai nama-nama tertentu, bergantung kepada fungsi atau sebab melakukannya:
Pejabat shogun diangkat dengan perintah kaisar, dan dalam praktiknya berperan sebagai kepala pemerintahan/penguasa Jepang. Negara asing mengganggap shogun sebagai “raja Jepang”, namun secara resmi shogun diperintah dari istana kaisar, dan bukan penguasa yang sesungguhnya. Kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan Kaisar Jepang.
Kata “Sei-i” dalam Sei-i Taishōgun berarti penaklukan suku Emishi yang tinggal di wilayah timur Jepang. Suku Emishi dinyatakan sebagai orang barbar oleh orang Jepang zaman dulu. Sei-i Taishōgun memimpin pasukan penyerang dari arah pesisir Samudra Pasifik, dan di bawah komandonya terdapat Seiteki Taishōgun yang memimpin pasukan penyerang dari arah pesisir Laut Jepang. Selain itu dikenal Seisei Taishōgun yang memimpin pasukan penakluk wilayah Kyushu di bagian barat Jepang.
Dalam perkembangannya, istilah “Sei-i” (penaklukan suku Emishi) diganti pada zaman Hōki menjadi “Sei-tō” (penaklukan wilayah Timur). Namun istilah “penaklukan suku Emishi” (Sei-i) kembali digunakan sejak tahun 793. Istilah “Sei-i Shōgun” (jenderal penaklukan suku Emishi) mulai dipakai dalam dokumen resmi sejak tahun 720 (Yōrō tahun 4 bulan 9 hari 29) ketika Tajihi Agatamori diangkat sebagai Sei-i Shōgun. Istilah “Sei-tō Shōgun” (jenderal penaklukan wilayah timur) mulai dipakai sejak tahun 788 seperti catatan sejarah yang ditulis Ki no Kosami (730-797) yang ikut serta dalam ekspedisi ke wilayah timur.
Sakanoue no Tamuramaro diangkat sebagai Sei-i Taishōgun pada tahun 797 setelah sebelumnya menjabat Wakil Duta Penaklukan Wilayah Timur sekaligus Wakil Duta Penaklukan Suku Emishi di bawah komando Ōtomo no Otomaro. Pemimpin Emishi bernama Aterei yang bertempur pantang menyerah akhirnya berhasil ditangkap oleh Tamuramaro dan dibawa ke ibu kota, sedangkan selebihnya berhasil ditaklukkan. Pada praktiknya, Sakanoue no Tamuramaro adalah Sei-i Taishōgun yang pertama atas jasanya menaklukkan suku Emishi.
Selanjutnya dalam rangka peperangan melawan Emishi, Funya no Watamaro diangkat sebagai Sei-i Shogun (Jenderal Penaklukan Suku Emishi) pada tahun 811. Perang dinyatakan berakhir pada tahun yang sama, dan wakil shogun bernama Mononobe no Taritsugu naik pangkat sebagai Chinju Shōgun. Istilah “chinjufu” berarti pangkalan militer yang terletak di Provinsi Mutsu. Setelah itu, jabatan Sei-i Shōgun kembali dipulihkan sejak tahun 814.
Minamoto no Yoritomo memulai karier militer sebagaiTōryō (kepala klan Minamoto) di wilayah Kanto. Jabatan kepala klan bukan merupakan jabatan resmi di bawah sistem hukum Ritsuryō, dan kedudukan Yoritomo tidak jauh berbeda dengan Taira no Masakado atau pemimpin pemberontak lain di daerah.
Setelah mantan Kaisar Go-Shirakawa mangkat, Minamoto Yoritomo diangkat sebagai Sei-i Taishōgun pada tanggal 21 Agustus 1192. Pemerintahan militer yang didirikan Yoritomo di Kamakura dikenal sebagai Keshogunan Kamakura.
Pada zaman sekarang, kimono berbentuk seperti huruf “T”, miripmantel berlengan panjang dan berkerah. Panjang kimono dibuat hingga ke pergelangan kaki. Wanita mengenakan kimono berbentuk baju terusan, sementara pria mengenakan kimono berbentuk setelan. Kerah bagiankanan harus berada di bawah kerah bagiankiri. Sabuk kain yang disebutob i dililitkan di bagianperut/pinggang, dan diikat di bagianpunggung. Alas kaki sewaktu mengenakan kimono adalahzōri ataugeta.Kimono sekarang ini lebih sering dikenakan wanita pada kesempatan istimewa. Wanita yang belum menikah mengenakan sejenis kimono yang disebut furisode.[1] Ciri khas furisode adalah lengan yang lebarnya hampir menyentuh lantai. Perempuan yang genap berusia 20 tahun mengenakanfurisod e untuk menghadiri seijin shiki.
Pria mengenakan kimono pada pesta pernikahan, upacara minum teh, dan acara formal lainnya. Ketika tampil di luar arena sumo, pesumo profesional diharuskan mengenakan kimono.[2] Anak-anak mengenakan kimono ketika menghadiri perayaan Shichi- Go-San. Selain itu, kimono dikenakan pekerja bidang industri jasa dan pariwisata, pelayan wanita rumah makan tradisional (ryōtei) dan pegawai penginapan tradisional (ryokan).
Pakaian pengantin wanita tradisional Jepang (hanayome ishō) terdiri darifurisod e danuch ikake (mantel yang dikenakan di atasfurisode).Furisode untuk pengantin wanita berbeda darifurisode untuk wanita muda yang belum menikah. Bahan untukfurisod e pengantin diberi motif yang dipercaya mengundang keberuntungan, seperti gambar burung jenjang. Warnafurisod e pengantin juga lebih cerah dibandingkanfurisode biasa.Shiro muku adalah sebutan untuk baju pengantin wanita tradisional berupafurisode berwarna putih bersih dengan motif tenunan yang juga berwarna putih.
Iromuji
Iromuji adalah kimono semiformal, namun bisa dijadikan kimono formal bila iromuji tersebut memiliki lambang keluarga (kamon). Sesuai dengan tingkat formalitas kimono, lambang keluarga bisa terdapat 1, 3, atau 5 tempat (bagian punggung, bagian lengan, dan bagian dada). Iromoji dibuat dari bahan tidak bermotif dan bahan-bahan berwarna lembut, merah jambu, biru muda, atau kuning muda atau warna-warna lembut. Iromuji dengan lambang keluarga di 5 tempat dapat dikenakan untuk menghadiri pesta pernikahan. Bila menghadiri upacara minum teh, cukup dipakai iromuji dengan satu lambang keluarga.
Yukata
Gerakan dasar yang harus dikuasai dalam nihon buyo selalu berkaitan dengan kimono. Ketika berlatih tari, penari mengenakan yukata sebagai pengganti kimono agar kimono berharga mahal tidak rusak karena keringat. Aktorkabuk i mengenakan yukata ketika berdandan atau memerankan tokoh yang memakai yukata. Pegulatsumo memakai yukata sebelum dan sesudah bertanding.
Musim panas berarti musim pesta kembang api dan matsuri di Jepang. Jika terlihat orang memakai yukata, berarti tidak jauh dari tempat itu ada matsuri atau pesta kembang api.
Hotel atauryokan di Jepang menyediakan yukata untuk dipakai tamu sebagai pakaian tidur. Sebagai pakaian tidur, yukata bisa dikenakan begitu saja tanpa mengenakan pakaian dalam. Ketika dipakai pria untuk keluar rumah, yukata biasanya dikenakan tanpa kaus dalam, dan cukup memakai celana dalam atau celana pendek. Berbeda dengan kimono yang dikenakan dengan dua lapis pakaian dalam (hadajuban danju ban), sewaktu mengenakan yukata, wanita hanya perluhada juban (pakaian dalam lapis pertama). Alas kaki sewaktu memakai yukata adalah geta.
Yukata dikencangkan ke tubuh pemakai dengan obi yang lebarnya setengah dari lebar obi untuk kimono jenis lain. Di antara berbagai jenis simpul obi untuk yukata, bentuk simpul yang paling populer adalah simpulbunko yang berbentuk kupu-kupu. Bila tidak bisa membuat simpul, toko kimono menjual simpul obi yang sudah jadi dan tinggal disisipkan pada obi.
Wanita mengenakan yukata yang pas dengan ukuran tubuh pemakai agar terlihat bagus sewaktu dipakai. Seperti halnya kimono, panjang yukata selalu melebihi tinggi badan pemakai. Perlengkapan memakai yukata wanita:
Bagian punggungmontsuki dihiasi lambang keluarga pemakai. Setelan montsuki yang dikenakan bersama hakama dan haori merupakan busana pengantin pria tradisional. Setelan ini hanya dikenakan sewaktu menghadiri upacara sangat resmi, misalnya resepsi pemberian penghargaan dari kaisar/pemerintah atau seijin shiki.
Filed under: Jepang, Kebudayaan, Jepang, Kebudayaan
ah, Indonesia punya banyak kebudayaan yang sangat lebih indah dari sekedar kimono. Kita punya baju adat, kita punya batik. Dan batik itu pun di setiap daerah berbeda – beda coraknya.
Yuk cintai Indonesia, negeri kita sendiri
Salam kenal!
salam kenal juga….
iya.. indonesia memang tiada 2 na…
Arigatou gozaimash……
Terima kasih untuk infony…
mohon izin untuk saya share kmbali,boleh?
silahkan… 🙂
[…] Kebudayaan jepang – candra kirana | hy smua… lewat blog […]
terima kasih atas kunjungan nya.. 😀
[…] KEBUDAYAAN JEPANG | Candra Kirana – Jepang yang mempunyai kebudayaan yang unik membuat Negara bunga sakura itu banyak di kenal masyarakat dunia salah satunya Indonesia, kebudayaan jepang …… […]